Hei..kenalkan, Aku Rezta. kali ini
aku ingin berbagi dengan kalian mengenai hubunganku dengan kedua orang tuaku.
Kenapa tiba-tiba aku ingin mengangkat cerita ini? hmm tak lain tak bukan adalah
aku merasa terbawa perasaan dengan percakapan-percakapan rekan kerjaku tadi
siang. Mereka menceritakan betapa hangat ayah dan ibu mereka kompak merawat.
Ada rasa pedih dalam hati ketika
mendengar mereka bercerita, bahkan ada satu rekan kerjaku (sebutlah namanya
Esti, yang menceritakan bahwa ayah dia tidak pernah sekalipun memukul ataupun
membentak), kemudian dilanjutkan dengan cerita dari (sebut saja Dhani yang juga
menceritakan bahwa Ayahnya begitu menyayangi dia, bahkan ketika Ibu Dhani
marah-marah atau mencubit, tidak jarang ayahnya yang akan turun tangan).
Aku menarik nafas panjang ketika
mendengarkan itu, dengan sedikit reaksi yang agak kaget aku iseng menanyakan
"Hei Dhani, apakah artinya kamu tidak pernah merasakan dipukul ayahmu
sampai kuping kamu berdenging dan terasa budek?" dengan santainya Dhani
menjawab "engga pernah"
Sungguh jawaban yang membuat aku
terkejut, karena bagiku untuk tidak pernah merasakan pukulan orang tua adalah
hal yang sangat istimewa.
Sesaat aku teringat tentang
pertama kalinya aku dipukul ayahku, adalah ketika aku usia SD. Kala itu aku
main ke rumah tetangga yang banyak orang bilang (itu rumah gila). Di rumah
tetangga tersebut tinggal seorang nenek yang sering marah-marah tidak jelas,
aku kesana karena nenek tersebut memiliki cucu laki-laki seumuranku.
Kembali memori melekat di kepala,
Ayahku datang membawa gulungan koran dan badanku ditarik untuk di bawa pulang,
sepanjang jalan beberapa kali ayah menyematkan gulungan koran tersebut ke
badan.. yang teringat adalah rasa panas dan sisa lebam.
Bagaimana dengan Ibu ku? Ayah dan
Ibuku memiliki karakter yang unik, mereka berdua sangat saling mencintai. Oleh
karenanya beberapa kali aku merasa sangking cintanya terkadang Ayah tidak
melakukan filter terhadap informasi yang Ibu ku sampaikan (Istilah kali ini
mungkin Ayah sudah terkena gashlighting).
Apa mau dikata jika memang itulah keadaannya.
Dibandingkan dengan ayah, Ibu
lebih sering memukul (mungkin efek karena memiliki suami yang tidak pernah ada
di rumah, dalam setahun ketemu hanya sekali alias bisa dihitung jari) bisa
dibilang efeknya adalah adanya kejenuhan, emosi yang tertumpuk dan tidak ada
tempat untuk berbagi. Jadi ketika aku "nakal" itulah tempat untuk
melampiaskan kekesalannya (ini pemikiranku kala itu).
Aku sangat ingat sekali, ketika
tidak bisa mengerjakan PR. Ibu dengan semangatnya menarik rambutku dan
membenturkan kepalaku ke lemari (Apa yang terjadi? apakah kepalaku bocor? Oh
tentu tidak. Kepalaku hanya benjol segedhe bola bekel. Yang perlu dikasihani
adalah lemari, karena pintunya jebol. Hahaha)
Tidak hanya itu saja, aku masih
sangat ingat ketika Ibu ku tahu bahwa pencapaian nilai akademisku di SMA sangat
jauh dari kata memuaskan. Saat itu aku kelas 2 dan memang aku tidak pintar
dalam hitung-hitungan.
Selama perjalanan pulang ke
rumah, aku sudah mempersiapkan mental dengan apa yang terjadi. Awal masuk pintu
rumah, beliau tidak ada tanda-tanda marah ataupun akan memukul. Aku melihat
beliau melakukan pekerjaan hari-harinya, duduk di meja makan sambil sesekali
mengupas bawang merah untuk digoreng.
Hingga hari menjelang malam,
ketika aku duduk di ruang tv dan bercengkerama dengan adik semata wayangku.
Tahu-tahu aku merasakan pukulan di kepala belakang, syock, kaget dan sempat
reaksi ingin berdiri jika tidak mengingat itu adalah serangan yang biasa aku
terima. "Ah iya, ini kan tendangan sayang dari emakku, Masa kamu lupa sih Ta? Uda jangan dilawan. terima aja" (kata hatiku kala itu)
Entah kenapa begitu tiba-tiba
beliau menendang kepalaku dari belakang, bahkan lagi-lagi kepalaku kebentur
lemari. Untung yang ini engga menyebabkan benjol (malu kali ah, uda SMA
bawa-bawa bola bekel di kepala. Ya gak?). Tidak ada air mata kala itu, yang ada
malah rasa benci dan kecewa.
Pecah sudah amarah beliau malam
itu, katanya beliau malu memiliki anaknya bego seperti aku. Apa kata tetangga
yang tahu? Apakah ini wujud didikan anak tanpa ayah? engga beraturan, engga
ngerti pelajaran (dan masih banyak lagi).
Aku tidak melawan, karena aku
tahu sekali psikologi Ibuku. Balik lagi, beliau bisa dianggap sebagai single
parent yang apesnya ketika SMA aku satu sekolahan dengan tetangga dekat rumah
dan saudara sepupu yang seumuran.
Ibarat sudah jatuh tertimpa
tangga, badan lebam, kepala puyeng dan aku masih memikirkan bagaimana jika
hasil nilai ujianku diketahui tetangga dan diketahui keluarga besar.
Mungkin banyak orang akan menilai
aku adalah anak yang tidak tahu diuntung, menulis hal seperti ini. Padahal
bukan itu yang ingin aku sampaikan, aku sangat menyayangi kedua orang tuaku.
Dan aku sangat tahu, mereka pasti menyayangiku juga (sangat malahan).
Agar tidak kesepian ketika usia 8
tahun, aku meminta adik kepada orang tuaku. Kebetulan kala itu Ayahku masih ada
di rumah (belum menjadi bang toyib seperti sekarang).
Ketika adikku lahir, aku sangat
bahagia. Karena aku akan memiliki teman untuk berbagi entah suka dan duka (dan
itulah yang terjadi sampai sekarang). Sempat aku berfikir (kala itu), Jika
dengan aku memiliki adik mungkin mereka tidak lagi akan temperamental lagi.
(dan Yipppi aku salah...)
Keseruan tetap masih berlanjut,
kadang hal simple saja bisa membuat beliau naik pitam.
Aku lupa ditahun berapa kejadian
ini terjadi, Ayahku yang sangat mencintai dunia tekhnologi memiliki satu DVD
Player yang paling mahal dijamannya, yang tanpa aku sengaja tersenggol oleh
lenganku dan terjatuh.
Ayah melihat kejadian itu, tidak
ada hal yang bisa aku sampaikan selain kata maaf. Namun memori yang sampai saat
ini melekat hanyalah satu. Ketika ayahku terlihat tanpa fikir Panjang langsung
melayangkan kemplangan ke kepalaku yang kebetulan mengenai kuping kiriku, terasa
panas dan langsung berdenging. Sesaat aku blo’on dan tidak tahu apa yang
terjadi, yang aku lihat muka ayah memerah dengan mulut yang terlihat
mengucapkan omelan (tetapi sayangnya aku tidak mendengar apa yang beliau
ucapkan). What a funny memory
😊