Pages

Tuesday, January 7, 2025

Burung Bukan Sekedar Burung

Ya! Burung bukan sekedar burung dalam ceritaku kali ini adalah makna sesungguhnya. 

Karena berawal dari membahas soal burung inilah, seorang anak bersifat dakjal mampu mengucapkan kalimat yang sampai sekarang masih stuck di kuping, kepala, dan ingatanku.

----- 'MBOKMUi NYAT ASU' -----

Satu buah kalimat yang terasa masih nyaring di telingaku, padahal sudah berjalan 18 bulan yang lalu.

Bahkan susunan tempat ketika kejadian berlangsung masih sangat melekat di kepalaku, begitu juga dengan ekspresi ketika dia mengucapkan kalimat tersebut.

Alur cerita bermula dari adanya kegiatan arisan keluarga. Ya! Keluarga besar garis dari Ayah memiliki kegiatan rutin berupa Arisan, yang kebetulan saat itu lokasi berada di queen garden, Gentan.

Aku datang dengan partnerku lebih dulu, termasuk kategori datang awal. Kemudian disusul beberapa sanak family yang lain, lalu tidak lama kemudian kedua orang tuaku hadir. Mereka datang dengan mengendarai motor.
Sayangnya sibling hati ku (adik) tidak ikut hadir, dia sedang ada acara.

Rumah yang kami gunakan sebagai tempat arisan ini tidak bisa dibilang kecil, cukup lega untuk ukuran rumah saat ini. 

Namun karena saudara yang datang banyak, sehingga beberapa orang mendapat bagian duduk di teras dan di samping garasi.

Masih melekat dimemoriku, di bagian ruang tamu berisi ayahku, ibuku, Bulek W, Budhe U, Pakdhe W, pemilik rumah dan beberapa sesepuh yang dituakan.

Baru kemudian di teras ada aku, Bulik Ch*, Bulik M*l, Bulik S*i, si dia (B) dan beberapa keponakan yang sudah beranjak remaja.

Pembukaan, dan percakapan basa-basi dimulai. Hingga masuk pada satu moment tentang orang tuaku membahas kondisi lahan parkiran, dimana saat itu ayahku mulai membuka obrolan bahwa di parkiran ada burung peliharaan si B**m yang kalau dikasih makan ayahku selalu girang. Hal ini terlihat dari gerak gerik si burung yang langsung mengepak-kepakkan sayap dan ngoceh.

Kemudian ibuku nyeletuk
I (Ibuku) : "Manuk'e niku nak mboten Bapak'e lare-lare sing makani nggih mboten dipakani" translate ('Burungnya itu kalau bukan Ayah anak2 yang kasih makan juga engga dikasih makan')
A (Ayahku): "wah yen esuk kulo pakani mbak, langsung ngoceh ngoten niko" translate (wah kalau pagi saya kasih makan mba, langsung ngoceh) ujar ayahku kepada budhe U sebagai lawan bicaranya. Terlihat dari nada bicara, Ayahku sangat senang dengan burung ini.

Kemudian ibuku kembali berujar yang kali ini mention langsung ke B dengan isi kalimatnya kurang lebih adalah kalau memang berniat punya peliharaan, ya dirawat. Kasihan kalau tidak dikasih makan karena burung tersebut di dalam kandang tidak bisa cari makan sendiri.

Entah apa yang ada di kepala B mendengar kalimat ibuku tersebut, tetiba dia menjawab dengan nada penekanan.

B: "Ora dipakani piye hlo, wong mben ndino wae dipakani mas B*** (nama suaminya) kog." (ujarnya) yang kemudian dilanjutkan dengan kalimat dia memanggil suaminya.
"Hlo yaah, jare yangti (sebutan dia untuk ibuku) ayah ratau makani manuk e hlo.."
Translate:
"Engga dikasih makan gimana loh orabg tiap hari aja dikasih makan mas B*** kog"
 "Hlo yaah, kata yangti ayah enggak pernah kasih makan burungnya hlo"

Beberapa dari saudara yang mendengar percakapan tersebut hanya tersenyum tipis. Karena antara ibuku dengan B ini memang sudah terkenal tidak akur. Sehingga perdebatan-perdebatan kecil seperti siang itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka yang sudah paham kondisinya.

Dulu sebelum negara api menyerang, B adalah anak kesayangan ibuku. Hal ini terlihat dari segala apa yang diminta, selalu diusahakan oleh ibu dan ayahku terpenuhi.

Namun semua berubah sejak B memutuskan minggat dari rumah, setelah putus dari pacar Makassar-nya. Dan sejak saat itulah hubungan mereka renggang. Ibuku masih menyimpan luka dengan segala tingkah laku B. 

Kembali lagi ke percakapan burung tadi, Ibuku terlihat sedikit terpancing untuk berdebat ketika mendengar kalimat B yang mention suami-nya. 

Aku mendengar dari teras, ibuku menceritakan bahwa tidak mungkin burung ini sudah dikasih makan layak. Karena setiap ayah kasih makan, langsung terlihat cukup rakus macam burung kelaparan.

Tetiba tanpa ada angin, tanpa ada hujan. B yang awalnya mendengarkan ibuku berbicara, kemudian memalingkan wajah ke arahku dan berujar:
'MBOKMUi NYAT ASU'

spontan aku langsung berkata
"Heh jaga ucapanmu! gitu2 juga ibumu"

B tidak memberikan respond, entah dengar atau pura-pura budek. Yang jelas saat moment itu berlangsung aku melihat ekspresi bulek² yang kebetulan ada di teras tersebut tersenyum kecut (lebih ke miris) namun tidak ada satupun yang berani menegur dia.

Arah mataku reflek melihat sosok ibuku, syukurlah dia tidak mendengar apa yang B ucap barusan. 

Penyesalanku sampai hari ini adalah: kenapa tidak aku gampar saja dia saat itu juga. Persetan jika aku dibilang pembuat onar. 
Aku tidak peduli, dari pada sampai saat ini memori tersebut tidak hilang dari ingatan.
Yang aku ingat saat itu adalah, aku ingin segera pulang dan menghubungi siblingku (A*sa) sebatas untuk mengeluarkan luapan emosi karena kejadian barusan.

Apakah aku menyampaikan hal ini ke ibuku? Tidak.
Kenapa? Ya karena percuma, Ayahku akan selalu berada di pihak B dan meminta ibuku untuk tidak dimasukin ke hati.

Lalu B? ya dia akan selalu bertingkah macam dakjal karena merasa selalu dibela Ayah. 

B selalu berfikir bahwa ibuku (mungkin) tidak pernah tahu kalau selama ini dia selalu menceritakan keburukan ibuku ke orang-orang yang dia kenal.

Menceritakan ke orang-orang tentang bagaimana sosok ibuku. Sosok yang super jelek, jahat, dan seburuk-buruknya orang.

Entah dia sadari atau tidak, bahwa selama ini Ibu ku tahu perbuatan dia, segala ucapan buruk dia tentang ibuku ke orang-orang. 
Tetapi ibuku memilih diam dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Yah kalaupun gedumel, lebih ke Ayah dan ke kami sebagai pendengar.

Sedang B? sampai saat ini, dan entah sampai kapan. Masih tetap melakukan hal tersebut. 

Yang menyedihkan adalah meskipun B sudah berlaku jahat kepada Ibuku, tetapi Ayah dan Ibuku masih mengizinkan B mengais rezeki di lahan yang mereka miliki.

Jika aku menjadi B?
aku akan malu.

aku berlaku jahat ke orang, sedangkan orang tersebutlah yang memberiku makan.

aku berucap jahat tentang orang, padahal mayoritas properti aktif orang tersebutlah yang mampu menghidupi keluargaku.

aku berucap kotor tentang orang tersebut? dari vagina orang tersebutlah aku lahir.

Lalu? apa yang mampu aku banggakan? Aku tidak menemukan kebanggaan apapun selain mempermalukan diriku sendiri di hadapan Tuhan.
Merendahkan diriku sendiri di hadapan orang-orang yang sejatinya tahu alur cerita hidupku.

Sejak kejadian di teras Gentan inilah aku memutuskan untuk tidak terlibat perasaan ataupun kebutuhan lain secara lebih jauh dengan sosok B.

Jika suatu hari B membaca ketikanku ini, reaksi awal yang aku tebak adalah dia akan tersinggung, tidak terima, dan lebih buruknya adalah dia pura-lura lupa pernah mengucapkan hal tersebut.
Ya tidak apa-apa, itu hak dia. Sama seperti ini hak aku untuk menuliskan segala yang ada di sini. Jika dia marah dan tersinggung, berarti dia paham bahwa sosok B itu adalah dia padahal aku tidak menulis nama asli dia. hmm simalakama ye kan.


Harapanku adalah semoga setelah aku tulis ini, memori satu paket tentang kalimat yang telah B ucap untuk ibuku lenyap dari telinga dan kepalaku. Aamiin.


ps:
aku tidak pernah berkata bahwa ibuku adalah ibu yang sempurna, dan selalu baik. Namun bukan berarti ibuku adalah sejahat-jahatnya manusia. 
Semua tergantung dari siapa yang menilai dan dari perspektif mana mereka menilai.


11 Juni 2023
buat yang tanya, mana wujud B? kalian cari tahu sendiri aja yak yang mana. Hahaha.
Ini aku bisa senyum, ya karena memang lagi foto bareng. Biarpun di hati udah marah kaya apaan tahu.

ini gambaran letaknya, teras dan ruang tamu ya. Jadi B posisi tepat di depan pintu waktu itu.

No comments:

Post a Comment