Pages

Thursday, February 8, 2024

Suami? Sebagai (support) system, atau (penghancur) mental? v.4

Tulisan ini aku buat untukku sendiri yang sedang lelah hati, dan letih fisik.

kami berfikir bahwa jarak 3th adalah jarak ideal untuk seorang anak memiliki adik,  And we are totally wrong.

Ternyata jarak 3th belumlah cukup ideal untuk seorang balita punya adik.
Karena ternyata mereka masih melihat adik (sosok anggota keluarga baru) sebagai saingan.

Meskipun selama proses 9bulan berjalan, hampir setiap hari udah kita sounding bahwa akan ada anggota baru yang hadir dengan sebutan adik tidak mampu meredamnya.
Kita pun sudah memberikan gambaran bahwa nanti bisa main sama kaka/mas/koko/abang utha (sengaja kita sudah ajarkan ke dia panggilan sayang) dengan tujuan agardia merasa lebih dekat, selain sebagai bounding psikis.

Kami berfikir bekal 9bln sudah cukup, ternyata semua hal yang sudah kami siapkan luluh lantak setelah anggota baru nongol.

1. Dia yang selama ini adalah penghilang lelahku, seolah-olah sekarang dia adalah alasan kenapa hidupku menjadi semakin lelah

2. Dia yang biasanya selalu bikin aku tertawa, tersenyum, dan merasa hangat. Seolah-olah sekarang ajakan main bersama dari dia saja membuat aku bisa uring-uringan tidak jelas.

3. Apapun yang dia lakukan jadi serba terlihat salah di mataku, padahal dia tidak salah.

Aku seperti menuntut dia untuk dewasa sebelum waktunya (tidak bole berisik ketika ade tidur, harus nunggu giliran main sama ak ketika ade lg minta nyusu, harus antri tidur di sampingku setelah ade-nya tidur duluan)

padahal ketika dia tidur, aku sadar klo dia pun masih kecil.

Dunia dia masih dunia main, dan emak bapaknya adalah pusat cahaya dia.

Seberapa kami bentak dia, dia akan selalu meluk kami dn bertanya dg polosnya "umma marah?"
atau 
"upa.. aku mau main ini pa. ayo temenin"

kalau aku sudah kumat sawan. Suami berperan penting untuk ngejagain dia supaya tidak aku sakiti. Kembali lagi (padahal dia engga salah).

Kalau aku sedang terlalu kecapean, Suami selalu ngingetin bahwa aku dapetin dia tuh susah banget dan banyak yang harus aku korbanin.

Kalau aku lagi drop secara mental, suami selalu dampingi dan bilang bahwa aku hebat, dia hebat, kami berdua hebat jadi engga boleh kalah dengan emosi yang sedang hinggap.

Mungkin akan beda cerita kalau dalam proses merawat duo bocil ada yang bantu (orsng tua, baby sitter?)

yah sepenggal curhatan hati yang sedang lelah, tubuh yang sedang letih.

Hai anak pertama ku, maafkan aku ya. Masih suka kasar dan emosi menghadapi tingkahmu.

Hai partner hidupku, terima kasih sudah menguatkan aku dalam segala hal meskipun kadang kamupun menjadi tampiasan dari segalanya. hahaha.

😑
Oke di sini termasuk suami berperan sebagai support system.

No comments:

Post a Comment